Selasa, 02 November 2010


Malam mulai teraba mata, kuputuskan utuk pulang sore ini, malam ini juga, karena besok-besok pasti sudah sulit lagi mengatur waktu. Pertama, kulihat jadwal kreta, sekarang pukul 06.00 sore. Masih ada dua kereta. Kahuripan dan gaya baru malam. Keduanya kereta ekonimi. Kahuripan kereta tujuan Pasundan, Bandung. Gaya baru malam kereta tujuan Tangerang, Jakarta. Petugas menyarankanku untuk naik kreta pasundan saja, karena masih banyak arus mudik balik. Pasti gaya baru malam akan sangat padat. Begitu sarannya, tetapi kalau kreta yang lainnya pasti akan sangat memakan waktu. Itu berarti akan sangat malam sampai Kebumen. Sedangkan bila Gaya Baru malam, kreta ini cukup cepat untuk sampai Kebumen. Ya, Gaya baru malam. Aku memilihnya.
Masyaallah…kreta ini seperti lautan manusia, hampir tak ada tempat untuk melangkah. Setiap melangkahpun harus melewati banyak penumpang. Dan panasnya luar biasa. Huh, aku sedikit menyesali memilih ekonomi ini. Sekitar lima menit aku berjalan. Belum kutemukan tempat yang sekiranya aku bisa berdiri sejenak sampai Kebumen. Kususuri dua gerbong. Di tengah gerbong ketiga yang aku jalani, akhirnya ada space yang lumayan leluasa untuk berdiri. Beruntung kemudian ada seorang lelaki separuh baya yang menawariku tempat duduk. Padahal beliau sampai Jakarta, sedangkan aku hanya Kebumen. Karena tak enak untuk menolak dan memang karena mulai butuh duduk, akhirnya aku terima saja tawaran itu. Aku pun duduk.
Di hadapanku ada seorang ibu yang tengah menidurkan anaknya di kursi kereta manusia ini. Bapaknya duduk sebangku denganku, sambil terkantuk-kantuk mereka menjaga anak mereka yang tengah tertidur lelap. Saat itu jadi ingat dengan diriku sendiri. Betapa ketika kecil, ayah dan ibu membesarkanku dangan penuh kehati-hatian. Aku masih ingat, ketika aku takut tidur, aku memanggil ayah dan ibu, atau aku datang ke kamar mereka, tidur bersama mereka. Kini, kalau aku takut tidur sendiri, aku hanya akan meringkuk sendiri dikasurku. Mencoba memejamkan mata, membayangkan hal-hal indah dan terlelap tidur. Aku juga masih ingat, ketika aku membentak ayah dan memaki-makinya saat beliau telat menjemputku. Ketika aku demam, aku tak pernah bisa tidur, kemudian ayah bangun dan menggendongku sampai aku benar-benar terlelap tidur. Kini, aku sudah sebesar ini. Tapi, otakku masih saja anak-anak. Aku masih suka sekali marah. Aku tidak boleh seperti itu terus. Aku harus berubah.
Sebenarnya sih, aku masih ingin sekali merasakan kehangatan itu lagi. Aku ingin kembali sebentar ke masa itu, ingin kuucapkan ketika ayah menggendongku terima kasih ayah….aku ingin memeluknya lebih erat dan berusaha untuk tidak jatuh dan mengatakan ayah aku ingin ayah hidup bahagia…kemudian ketika ibu menemaniku tidur, aku ingin mengatakan ibu terimakasih banyak atas semua yang kau korbankan untukmu…ibu aku mencintaimu…ibu aku ingin menemanimu…masih bisakah? Aku melakukan itu? Kini aku terlalu malu untuk mengatakan itu. Tapi….
Ahh, lama-lama aku tak kuat, kalau teringat itu, pasti aku jadi setengah gila. Aku harus sadar kalau aku dikereta yang padat akan manusia. Ya. Sadar. Sampai di Purwosari ada serombongan keluarga yang ikut urun memadati gaya baru malam. Ada seorang ibu, menggendong balitanya dan menuntun kakak balita yang masih kecil. Ibu itu bigung. Raut wajahnya mirip penumpang-penumpang lainnya yang bingung mencari tempat duduk. Ia berhenti tepat di depanku. Dibelakangnya menyusul seorang bapak sambil merutuki keputusannya naik ekonomi malam itu. Ia mengatakan tentang bis, tapi, aku tdak begitu paham apa yang dikatakannya. Bapak itu ternyata suami ibu yang membawa anak. Terlihat sabar sekali ibu itu menjelaskan pada suaminya bahwa biasanya tidak sepadat ini. Karena terpojok, sorot kebingungan ibu pun semakin jelas. Aku bingung juga deh. Mau aku kasih ini tempat duduk, aku juga dikasih sama bapak-bapak yang berdiri di sampingku, tetapi kalau nggak tak kasih, rasanya kurang etis. Ahirnya, aku memutuskan untuk memberikan tempat dudukku pada ibu dan Alhamdulillah, bapak yang ngasih aku tempat duduk nggak keberatan.
Aku berdiri lagi. Bakal pegel sih…tapi aku lega karena perbuatanku nggak bertentangan dengan apa yang aku batinkan. Aku juga bersyukur, ternyata kalau aku berdiri udara luar tepat mengenaiku. Jadi, aku tidak kepanasan. Aku juga bisa melihat pemandangan malam tanpa kaca. Jadi jelas banget lampu-lampu pinggir kota. Terlihat sangat menarik untuk digambar. Pemandangan lampu pinggir kota disambut oleh sunyinya alam pedesaan. Aku sedikit bisa memetakan seperti apa negeriku ini melalui secuil pemandangan dari dalam kereta. Pembangunan negeri ini belum merata! Pedas mata ini selalu bersentuhan langsung dengan angin malam. Kualihkan mata pada gerbong. Banyak pedagang yang kesusahan untuk berjalan. Banyak orang yang mulai menggelar koran untuk tidur.
Otakku bekerja. Ada sesuatu yang membisikkan padaku, “inilah PR mu!”. Aku tersentak mendengar pernyataan itu dari dalam diriku sendiri. Aku menyaksikan sendiri starta ini yang hanya mampu menikmati kereta ekonomi, mungkin paling pol naik bisnis. Iklim ini mengubah suasanaku. Betapa banyak PR itu. Wajah-wajah itu menampakkan kerasnya kehidupan yang mereka hadapi. Kebanyakan dari mereka adalah seorang rantauan yang hendak mengadu nasib di kota-kota besar. Kemudian, mataku tertuju pada sekelompok pemuda, mereka terlihat dekil (maaf tanpa mengurangi kesopanan), baju mereka mungkin hanya satu-satu itu yang digunakan untuk setiap kali bersantai, rambut mereka terlihat merah bukan karena di cat, tetapi karena terlalu sering terpapar sinar matahari dan jarang sekali dirawat, terlihat sekali beban hidup mereka. Aku menebak, mereka adalah pemuda putus sekolah yang kemudian merantau. Aku melamun. Dalam lamunan itu, aku marah pada pemerintah yang tak kunjung selesai melaksanakan proker mereka. Tapi, kemudian aku sadar. Sekelompok pemuda seperti itu akan terus bertambah dan itu akan menjadi PRku di masa depan. Merekalah….
“Maaf mba”, seorang pedagang mohon permisi untuk berjalan. Aku tersentak dari lamunanku. Perhatian itu tertuju pada pedagang itu. Ia seorang bapak-bapak yang bagian dadanya membungkuk. Meskipun begitu, ia masih sanggup memanggul jualannya di pundaknya. Ya Allah…Astaghfirullah…aku memandangi pedagang itu sampai ia hilang ditelan lautan manusia di gerbong berikutnya. Batapa jaunya rentang sosial negeri ini… kemudian pandanganku tertuju pada bayi yang tadi ditidurkan ibunya, ia menangis, ibunya bangun dan menenangkannya. Aku berpikir, apa yang akan terjadi pada anak dihadapanku ini. Bagaimana ketika ia besar nanti. Apa ia akan putus sekolah? Apakah ia bisa menikmati masa kecilnya seperti aku dulu? Apakah ia akn bekerja di usia dini? Mampukah aku? Apakah aku sanggup menerima tampuk pemerintahan dan menjadikan negeri ini menjadi lebih baik lagi?  Sedang sekarang aku hanyalah seorang yang masih sangat manja, dan belum punya penghasilan ataupun melakukan usaha untuk kehidupanku sendiri.
Dalam hati aku bertekad, aku ingin membawa kebahagian untuk negeri ini. Aku terus berharap, aku bisa melakukannya, aku terus berharap Allah merahmati impianku. Aku berharap, negeri ini benar-benar selalu dalam berkahNya.
Aku bersyukur, mala mini aku naik kereta ini. Banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil. Aku juga jadi tahu kalau ternyata aka nada banyak tugas yang akan aku emban kelak. Aku berharap Indonesiaku bersatu, Indonesiaku maju dalam genggaman rahmatNya.
Sekitar setengah sepuluh, gaya baru tangsir di stasiiun Kebumen. Aku turun, dan aku dapati seorang pria berjaket hitam berdiri menatapku. Ia adalah laki-laki yang menggendongku dulu ketika aku demam. Terima kasih Ayah…tidak membuatku menunggu lagi.
Dari kejauhan ku dengar gaya baru menyeru…pelajaran usai, PR menanti untuk diselesaikan. Bismillahirrohmanirrohim….

Tidak ada komentar: